Page 58 - Lokananta #36
P. 58
Jelas saja ia cemas, cuaca saat itu sedang tak bersahabat.
“Siapa nek? Kakak ya ?” Adara bertanya penasaran.
Neneknya mendekat lalu mengusap pelan rambut cucunya, “Kakakmu sudah sampai di stasiun, telfon
ayah dan bundamu biar mampir menjemputnya nduk.”
Adara menoleh, mengangguk.
“Nenek akan siapkan makan malam untuk kalian.” Bergegas ia menuju dapur begitu bersemangat.
Adara menyusul nenek ke dapur. Tak lama, lalu keluar membawa nampan dengan dua cangkir seduhan teh
mela hangat. Cukup menghangatkan dinginya malam. Dia mendeka kakeknya.
“Kakek dulu pendaki ya kek ?” Sekedar basa-basi berbicara ringan namun pertanyaan itu membuat ha
kakeknya berdegup kencang.
ya benar kakeknya dulu adalah seorang pendaki gunung. Dengan ransel segede kulkas dan sepatu boot,
menikmati sunrise dari balik pintu tenda, menghirup segarnya udara gunung pagi hari dan kenikmatan menyeruput
segelas kopi panas di gunung selalu sama. Gunung, kopi, teman pendakian, dan hal-hal yang tercipta selalu membawa
kehangatan. kakeknya begitu mudah menjadi idola remaja saat itu.Masa muda yang menggebu, buku catatan saya
penuh dengan bucketlist pendakian Ingin mendaki seluruh gunung.
Dalam hati ia bangga sudah pernah memeluk puncak-puncak gunung. Sebangga-bangganya ia dengan
gunung, sekarang ia tak pernah bangga di sebut pendaki. Rasa kagumnya pada para pendaki gunung menguap
bersama maraknya pendakian diera sekarang. Pendaki berkharisma yang sering dia temukan di setiap tanjakan entah
di mana rimbanya. Kakeknya merasa kehilangan sosok idola yang dulu dia puja-puja. Pendaki yang dia temui tak ada
lagi yang spesial. Tak lagi membuat hati berdegup kencang kagum memandang. Dia kehilangan hangatnya sapaan
pendaki yang dulu ditemui di sepanjang jalan. Tak lagi ada obrolan hangat dengan pendaki di tenda sebelah.Terlalu
banyak yang mendaki. Hampir semua pendaki gunung sibuk berfoto selfie daripada berinteraksi santun dengan
pendaki gunung lain. Yang kadang membuat kesal, ada orang yang tak tahu aturan. Memutar musik pagi buta
terlampau keras. Sosok pendaki idola sudah tak lagi ada. Kehangatan rumah di gunung pun sudah tak bisa didapati.
“Sudahlah, mungkin pandangan kakekmu ini tentang gunung sudah kuno nduk, mungkin kakek masih tetap hidup di
masa lalu. Sekarang kakek juga sudah berhenti nanjak lagi nduk, malu kakek disebut pendaki.”
Dara menelan ludah sedikit ragu dan banyak takut untuk bertanya lagi.
“a.. apakah kakak seperti itu kek?” dengan nada sedikit gugup Adara beranikan bertanya.
Kakeknya terdiam, mendongak kearah jendela, suara mobil terdengar. Rupanya itu ayah bunda dan
Adheyasa.
“ehh Dara si anak mami! lihat nih aku dah sampai puncak.” Dengan bangganya Adheyasa menunjukan foto dari
kameranya.
Kakeknya melirik Adara dan tersenyum tipis memberi kode. Terjawab sudah pertanyaan Adara.