Page 46 - Lokananta #36
P. 46
Sama seperti namanya, ia membara. Tanpa ampun ia bakar apapun. Semua membutuhkan dia
namun tak ada yang berani menyentuh. Hanya kayu yang siap dibakar saja yang mendekatinya.
Ditengah malam yang sepi sunyi, Bara terbangun dari tidurnya. Ia berusaha meraih segelas air di meja.
Tanganya susah sekali untuk digerakan.
Tiba-tiba terdengar bunyi seseorang membuka pintu “Tuan bara ingin minum?”
ketika ia mulai membuka mulutnya dan akan menjawab tapi suaranya tak bisa terdengar.
“Ada apa? Dimana saya? Tempat apa ini? Saya terbaring tidak bisa bergerak tidak bisa bicara?” Bara
mendesis tak kuasa.
Mata itu mulai ber air ketika bayang-bayang sepuluh tahun hadir merasuk menusuk mencengkram .
“LEMAH KAU BARA! LARI BARAA!!”
Halaman belakang rumah seluas 20x30 meter itu hanya bisa terdiam. Aliran deras keringat Bara
membasahi sekujur tubuhnya. Kakinya mulai mati rasa. Tangan berpistol itu terus memainkan
tembakanya, pistol disodorkan kearah Bara, sesekali ia lepaskan tembakanya ke atas ketika kaki Bara
mulai berjalan pelan. Mulutnya terus memaki Bara.
“INI BUKAN HANYA SOAL FISIK BARA. AYO LARII!! LEMAH SEKALI KAU!! IBUMU TIDAK PERNAH
MELAHIRKAN SAMPAH BARA!”
“Apa Bara sudah sadar?” suara lembut terdengar dari balik pintu.
“Sudah nyonya tuan Bara sudah bangun sejak tadi.” Jawab seorang pelayan.
Telihat seorang yang anggun mulai memasuki ruangan, tangan halus mulai membelai, mencengkram
erat tangan Bara. Mulutnya tak berkata apapun namun matanya berteriak tidak bisa berbohong. Air
mata sudah menetes deras hingga membasahi tangan Bara. Ia tertidur dengan mata basah, wajahnya
terlihat lelah, sama lelahnya seperti dulu ketika Bara menemukanya di sudut bangunan tua. Dan
memulai sebuah cerita.
“Bangkit Bara, Kau bukan sampah! Bangkit Bara Bangkitt..” Teriakan itu.
“Untuk apa kau katakan itu. Percuma saja kau habiskan suaramu berteriak. Ayahku sendiri yang
mengatakanya. apalah aku ini hanya sampah tidak bisa jadi apa yang dia mau.” Bara tertunduk.
Bersambung....